Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Kepemimpinan Politik: Dialektika Etika Kepedulian dan Etika Kebenaran
Selasa, 11 Maret 2025 09:10 WIB
Pemimpin kontemporer harus menavigasi perbedaan ideologis yang semakin tajam.
***
Dalam lanskap politik kontemporer, ketegangan antara etika kepedulian dan etika kebenaran/keadilan menjadi semakin relevan. Pemimpin politik saat ini dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan tanggung jawab mereka terhadap prinsip-prinsip abstrak keadilan dan kebenaran, serta kebutuhan untuk merespons secara empatik terhadap kebutuhan nyata masyarakat.
Artikel ini mengeksplorasi dinamika ini dalam konteks kepemimpinan politik saat ini, dengan mempertimbangkan implikasi teoretis dan praktisnya.
Dilema Kepemimpinan dalam Masyarakat Terpolarisasi
Polarisasi politik yang meningkat telah menciptakan lingkungan di mana pemimpin harus menavigasi perbedaan ideologis yang semakin tajam. Di tengah polarisasi ini, kepemimpinan yang didasarkan semata-mata pada etika kebenaran—dengan fokus pada prinsip-prinsip universal dan keadilan prosedural—sering gagal mengatasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi. Seperti yang diobservasi oleh Habermas (1984), rasionalitas instrumental telah mendominasi ruang publik, mengakibatkan teralienasinya aspek-aspek kehidupan yang berhubungan dengan kepedulian dan solidaritas.
"Kepemimpinan yang efektif memerlukan kemampuan untuk mengintegrasikan kebenaran dan kepedulian, keadilan dan kelembutan, kekuatan dan kasih sayang," kata Yuval Noah Harari dalam wawancara tahun 2023 (Harari, 2023). Pemimpin yang hanya bertumpu pada legitimasi rasional-legal, seperti yang digambarkan Weber, tanpa membangun koneksi emosional dengan masyarakat, sering kali mendapati diri mereka disingkirkan oleh pemimpin populis yang mampu mengartikulasikan kepedulian, meskipun kadang dengan mengorbankan kebenaran faktual.
Etika Kepedulian sebagai Landasan Kepemimpinan
Pemikiran Gilligan (1982) tentang etika kepedulian menawarkan perspektif yang menarik untuk memahami kepemimpinan politik kontemporer. Gilligan berargumen bahwa model perkembangan moral yang dominan mengabaikan suara perempuan, yang cenderung lebih mementingkan hubungan dan tanggung jawab terhadap orang lain daripada kepatuhan terhadap prinsip-prinsip abstrak.
Dalam konteks politik saat ini, pemimpin yang berhasil sering menggabungkan kebijakan berbasis prinsip dengan narasi kepedulian. Jacinda Ardern, mantan Perdana Menteri Selandia Baru, mendemonstrasikan pendekatan kepemimpinan yang mengintegrasikan etika kepedulian dalam respons terhadap penembakan Christchurch dan pandemi COVID-19. Responsnya yang menunjukkan empati, sambil tetap memegang teguh prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, menggambarkan sintesis efektif dari kedua etika tersebut.
Noddings (2013) memperluas konsep etika kepedulian ke dalam domain politik, menyatakan bahwa "kepemimpinan yang didasarkan pada kepedulian mengakui kebutuhan untuk merespons penderitaan nyata alih-alih hanya berfokus pada hak-hak abstrak." Ini meresonasi dengan panggilan dalam masyarakat Indonesia untuk kepemimpinan yang lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat biasa.
Tantangan Integrasi dalam Konteks Indonesia
Di Indonesia, kepemimpinan politik telah lama ditandai oleh ketegangan antara formalisme hukum dan pendekatan berbasis kekeluargaan. Filosofi "musyawarah mufakat" dalam Pancasila mencerminkan penghargaan budaya terhadap harmoni sosial yang sejalan dengan etika kepedulian. Namun, implementasinya sering terhambat oleh struktur kekuasaan yang kaku dan fokus berlebihan pada formalitas.
Mulder (1996) mengamati bahwa konsep "Bapakisme" dalam budaya politik Indonesia mencerminkan gabungan unik dari otoritas patriarkal dan etika kepedulian paternalistik. Pemimpin diharapkan tidak hanya adil tetapi juga "ngayomi" (melindungi dan merawat) rakyatnya. Namun, seperti yang dikritik oleh Heryanto (2018), model ini dapat memperkuat hierarki dan ketergantungan alih-alih memberdayakan masyarakat.
Terikat dengan pemikiran Foucault tentang kekuasaan dan pengetahuan, kita dapat menganalisis bagaimana wacana kepemimpinan di Indonesia sering mengaburkan batas antara kepedulian otentik dan mekanisme kontrol. Pemimpin yang mengklaim bertindak atas dasar kepedulian dapat secara simultan memperkuat struktur kekuasaan yang menindas jika tidak disertai dengan komitmen terhadap kebenaran dan keadilan substantif.
Menuju Sintesis: Kepemimpinan Politik Dialogis
Untuk mengatasi dilema ini, akademisi politik seperti Young (2002) mengadvokasi model demokrasi deliberatif yang mengintegrasikan perhatian terhadap keadilan formal dengan pengakuan terhadap perbedaan dan kebutuhan spesifik konstituen. Habermas (1984) menyebut ini sebagai "etika diskursus" di mana legitimasi keputusan politik bergantung pada proses dialog inklusif yang mempertimbangkan baik kebenaran maupun kepedulian.
Dalam konteks Indonesia pasca-Reformasi, upaya untuk menyeimbangkan antara penegakan hukum yang tegas dan kepekaan terhadap konteks sosial-budaya mencerminkan perjuangan berkelanjutan untuk menyintesis etika kebenaran dan etika kepedulian. Pemimpin seperti Joko Widodo telah berusaha menggabungkan pendekatan pragmatis berorientasi hasil dengan gaya kepemimpinan yang merakyat, meskipun dengan hasil yang beragam.
Seperti yang disampaikan oleh Amartya Sen (2009), keadilan tidak dapat direduksi menjadi sekadar penerapan prinsip-prinsip abstrak, tetapi harus mempertimbangkan "kapabilitas" nyata individu untuk hidup bermartabat. Demikian pula, kepemimpinan politik yang efektif harus melampaui dikotomi antara rasionalitas instrumental dan kepedulian emosional.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi, kepemimpinan politik yang efektif memerlukan sintesis dari etika kebenaran dan etika kepedulian. Pemimpin harus mengembangkan apa yang disebut Nussbaum (2001) sebagai "rasionalitas emosional"—kemampuan untuk mengenali emosi sebagai bentuk penilaian kognitif yang valid dan berharga.
Di Indonesia, transisi menuju demokrasi yang lebih substantif memerlukan model kepemimpinan yang menghormati prinsip-prinsip keadilan universal sambil tetap peka terhadap konteks budaya dan kebutuhan spesifik masyarakat yang beragam. Tantangan bagi para pemimpin saat ini bukan hanya untuk bertindak benar atau peduli, tetapi untuk mengintegrasikan keduanya dalam visi kepemimpinan yang holistik dan transformatif.
Referensi
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972-1977. Vintage.
Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women's development. Harvard University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative action. Beacon Press.
Harari, Y. N. (2023). Leadership in the age of AI. Foreign Affairs, 102(1), 14-26.
Heryanto, A. (2018). Identity and pleasure: The politics of Indonesian screen culture. NUS Press.
Mulder, N. (1996). Inside Indonesian society: Cultural change in Java. Pepin Press.
Noddings, N. (2013). Caring: A relational approach to ethics and moral education. University of California Press.
Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions. Cambridge University Press.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard University Press.
Young, I. M. (2002). Inclusion and democracy. Oxford University Press.
Penulis Indonesiana


Berita Pilihan



